KI-Kunst: Judul:高校時代の私の心の4つの色 Kōkō jidai no watashi no kokoro no 4tsu no iro Bab 1: Aroma Pahit Masa Lalu dan Empat Warna Baru "Kau ini benar-benar tidak tahu diri, ya? Pacaran denganku? Haa! yang benar saja bahkan melihat wajahmu saja sudah membuatku ingin muntah. Kau sangat menjijikkan menjauh lah dari ku." Suara itu. Suara Akabane Yuki. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, nada jijik dan tatapan merendahkannya masih terukir jelas dalam ingatanku. Rasanya seperti baru kemarin, berdiri di bawah pohon sakura yang gugur, dengan jantung berdebar dan harapan yang membumbung tinggi, hanya untuk dihancurkan berkeping-keping oleh kalimat pedas itu. Saat itu, aku hanyalah Yonaka Haruki, seorang siswa SMP yang polos, berpikir bahwa cinta sejati bisa ditemukan semudah membalik halaman novel. Ternyata tidak. Dunia nyata jauh lebih kejam. Bip! Bip! Bip! Sial. Alarm ponselku berdering nyaring, mengoyak paksa aku dari mimpi buruk yang selalu sama. Pukul 05:00 WIB. Terlalu dini untuk bangun dengan perasaan sekacau ini. Aku menghela napas, menatap langit-langit kamarku yang remang-remang. Bayangan Yuki masih menari-nari di pelupuk mata. Sejak hari itu, aku bersumpah tidak akan lagi peduli dengan gadis nyata. Untuk apa mencari kesengsaraan lagi? Waifu di novel dan game-ku jauh lebih setia, lebih pengertian, dan tidak akan pernah membuatku merasa seperti sampah. Dengan enggan, aku memaksa diri bangkit dari ranjang. Dinginnya lantai langsung menusuk telapak kaki, sedikit membantu menjernihkan pikiranku. Aku bergegas ke kamar mandi, membasuh wajahku dengan air dingin, mencoba menghalau sisa-sisa mimpi yang menempel. Aku menatap cermin. Rambut hitamku berantakan seperti sarang burung dan kantung mata samar terlihat. Penampilan Yonaka Haruki, siswa kelas dua SMA biasa yang tidak menonjol sama sekali. Yah, setidaknya aku tidak perlu repot-repot menarik perhatian siapa pun. Itu adalah sebuah berkah, bukan? Setelah mengenakan seragam abu-abu SMA-ku—kemeja putih, dasi abu-abu, dan jas yang agak longgar—aku turun ke dapur. Aroma nasi hangat dan sup miso langsung menyerbu indra penciumanku. Ibu sudah menyiapkan sarapan. "Haruki, kau sudah bangun? Cepat sarapan sebelum dingin," suara Ibu terdengar ramah dari ruang makan. "Iya, Bu," jawabku singkat, menarik kursi dan duduk di meja. Sarapan pagi selalu sama: nasi, telur dadar, sup miso, dan terkadang ikan bakar. Sederhana, tapi selalu terasa menenangkan. Aku makan dalam diam, pikiranku melayang pada jadwal hari ini. Mungkin aku bisa menyelesaikan side quest di game RPG-ku nanti malam, atau membaca volume terbaru novel fantasi isekai yang baru kubeli. Dunia fiksi selalu menunggu dengan tangan terbuka, tidak seperti dunia nyata yang penuh penolakan. Setelah menghabiskan sarapanku, aku berpamitan pada Ibu. "Aku berangkat, Bu." "Hati-hati di jalan, Haruki," balasnya. Langkah kakiku terasa berat saat aku keluar dari rumah. Udara pagi yang sejuk sedikit melegakan, tapi suasana hatiku masih keruh. Jalanan mulai ramai dengan para siswa yang juga menuju sekolah. Mereka berjalan berpasangan, atau dalam kelompok teman, tawa dan obrolan mereka memenuhi udara. Aku hanya berjalan sendiri, menunduk, mencoba menjadi seinvisible mungkin. Ini adalah duniaku sekarang. Dunia di mana aku hanyalah figuran dalam cerita orang lain. Tidak masalah. Aku sudah terbiasa. Gerbang SMA Hinode sudah terlihat. Bangunan bata merahnya menjulang tinggi, dihiasi pohon-pohon rindang di sekelilingnya. Pagi itu, seperti biasa, keramaian sudah memenuhi koridor. Aku berjalan lurus menuju kelas 2A, tempat di mana aku biasanya bersembunyi di sudut belakang dekat jendela, jauh dari keramaian, tenggelam dalam duniaku sendiri. Saat aku melintasi lorong menuju kelas, tiba-tiba sebuah suara melengking diiringi bunyi gedebuk menarik perhatianku. "Aduh!" Aku menoleh. Di dekat loker, seorang gadis dengan rambut hitam pendek dan seragam yang sangat rapi sedang berjongkok, dikelilingi oleh tumpukan buku yang berserakan di lantai. Itu adalah Fujiwara Akari. Dia terlihat begitu imut dan polos, tapi juga sangat kikuk. Pipinya sudah memerah karena malu, dan dia tampak berusaha keras mengumpulkan buku-bukunya yang berserakan. Beberapa siswa lain menoleh, tapi tidak ada yang benar-benar bergerak untuk membantunya. Aku ragu sejenak. Aku bukan tipe pahlawan yang suka ikut campur, apalagi menolong gadis. Itu hanya akan menarik perhatian yang tidak kuinginkan. Tapi melihat wajah panik Akari, dan bagaimana dia terus tersandung kakinya sendiri bahkan saat berjongkok, hatiku sedikit tergerak. Mungkin ini bukan soal "menolong gadis", tapi lebih ke "menolong seseorang yang kesulitan". "Kau... butuh bantuan?" tanyaku canggung, suaraku nyaris berbisik. Akari mendongak, matanya yang bulat besar memancarkan kejutan, lalu dengan cepat berubah menjadi tatapan berterima kasih. "Eh? Oh, iya! Maaf, aku... aku sangat kikuk hari ini," dia tersipu, menunduk lagi, lebih malu dari sebelumnya. Aku menghela napas pelan, lalu berjongkok, mulai mengumpulkan buku-buku yang jatuh. Buku-buku pelajaran, beberapa novel sastra, dan yang menarik, sebuah buku tentang sejarah seni. "Ini..." Aku menyerahkan tumpukan buku padanya. "Terima kasih banyak, Yonaka-kun!" Akari mengambil buku-buku itu dengan hati-hati, lalu membungkuk sedikit. "Aku... aku benar-benar minta maaf merepotkanmu!" "Tidak masalah," jawabku cepat, berdiri kembali, merasa sedikit tidak nyaman dengan ucapan terima kasih berlebihan itu. Sebelum dia bisa mengatakan hal lain, aku buru-buru melanjutkan langkahku, melarikan diri dari situasi canggung yang baru saja kuciptakan. Seharusnya aku tidak menolongnya! Sekarang aku jadi diperhatikan. Aku masuk ke kelas 2A. Kelas sudah mulai ramai denga murit murit populer. Saat aku ingin ketempat duduk ku. Oh, sial. Benar-benar sial di atas mejaku, duduk seorang gadis dengan rambut pirang panjang yang dikuncir di sisi kepala. Dia mengenakan seragam sedikit lebih stylish dengan kemeja longgar dan rok yang... err, sedikit lebih pendek. Itu Hinori Hina, si gyaru populer dari kelas kami. Dia sedang tertawa terbahak-bahak dengan beberapa temannya. Mataku tanpa sengaja melirik ke arah roknya yang pendek karena dia duduk di atas meja. Sial, hampir terlihat! Aku dengan cepat mengalihkan pandanganku, wajahku pasti memerah. Hina, yang sedang berbicara dengan teman teman nya, tiba-tiba menyadari pandanganku. Tawanya terhenti. Matanya yang ceria menyipit. "Apa yang kau lihat, Yonaka-kun? Dasar mesum!" dia berteriak, suaranya sedikit lebih tinggi dari sebelumnya, menarik perhatian beberapa teman sekelas yang lain. "Ti-tidak! Aku tidak... aku hanya...!" Aku tergagap, panik. Ini baru pagi, dan aku sudah dituduh mesum oleh gadis paling mencolok di kelas. Kehidupan SMA yang tenang? Lupakan saja! Hina melompat turun dari mejaku dengan ekspresi kesal, tangannya berkacak pinggang. "Jelas-jelas tadi kau melihat rokku! Jangan pura-pura tidak tahu!" Sebelum aku bisa menjelaskan bahwa itu hanya kecelakaan karena dia duduk di mejaku dan aku tidak sengaja melihatnya, perhatian kelas kembali teralihkan. Sebuah aura keanggunan tiba-tiba memenuhi ruangan. Semua kepala menoleh ke arah pintu. Di ambang pintu, berdirilah Yayoi Reina, ketua kelas kami. Rambutnya yang panjang berwarna merah muda lembut terurai indah, dan dia mengenakan seragam abu-abu dengan keanggunan yang luar biasa, seolah seragam itu dibuat khusus untuknya. Wajahnya tenang dan berwibawa, tatapannya dalam. Dia adalah pusat perhatian alami, baik bagi para gadis maupun laki-laki. Reina dengan tenang melangkah masuk, menyapa beberapa teman sekelas dengan anggukan kepala. Seolah kehadirannya saja bisa meredakan keributan di kelas. Hina pun yang tadinya marah-marah langsung memelankan suaranya, sedikit segan dengan kehadiran Reina. Aku menghela napas lega. Setidaknya perhatian Hina teralihkan. Aku buru-buru pergi ke mejaku, mengambil posisi di sudut belakang, mencoba kembali menjadi "invisible man". Aku membuka novel ringan di tasku, berharap bisa tenggelam di dalamnya sebelum drama pagi ini berlanjut. Namun, indraku yang tak mau diajak kompromi menangkap kehadiran lain. Di barisan depan, duduk seorang gadis dengan rambut merah menyala panjang yang diikat dua kuncir ekor kuda tinggi. Matanya tajam, dan dia seringkali menunjukkan ekspresi cemberut. Itu Kifuyu Kyouka. Dia adalah gadis yang sama populernya dengan Reina, Hina, atau Akari, tapi karena kegalakannya, jarang ada yang berani mendekatinya selain melihat kecantikannya dari jauh. Dia terlihat sedang membaca sesuatu, dengan kening berkerut. Aura 'jangan-ganggu-aku' terpancar kuat darinya. Empat gadis populer. Empat kepribadian yang kontras. Dan entah kenapa, pagi ini aku sudah terlibat dengan dua di antaranya. Hidup otaku tenangku di SMA ini... sepertinya tidak akan pernah sama lagi. * Bel istirahat berbunyi, memecah kesunyian yang baru saja kudapatkan setelah insiden Hina. Aku segera menutup novelku, menyimpannya di dalam tas. Suara-suara riuh memenuhi koridor saat para siswa berhamburan keluar. Aku sendiri biasanya akan tetap di kelas, membaca, atau sesekali pergi ke perpustakaan. Tapi hari ini, aku punya janji. "Yo, Haruki." Suara berat dan sedikit dingin menyapaku. Aku mendongak. Di ambang pintu kelas berdiri Akisaki Ayato, temanku sejak tahun pertama. Rambut lurus hitamnya sedikit rapih, tersembunyi di balik tudung hoodie hitam yang dia kenakan di balik jas seragamnya. Penampilannya yang cuek dan dingin sudah menjadi ciri khasnya. Di sampingnya, ada Shizukana Seiza, teman kami yang lain. Seiza berdiri lebih tinggi, dengan rambut coklat belah tengah yang selalu tertata rapi. Dia mengenakan kemeja putih seragam sekolah, dasi abu-abu, dan kardigan krem di balik jasnya. Wajahnya yang tampan membuat seragam itu terlihat sangat bagus dikenakan olehnya. "Sudah lama menunggu?" tanyaku. Ayato hanya mengedikkan bahu. "Tidak juga. Kebetulan kami lewat." Seiza menyeringai, "Atau lebih tepatnya, Ayato sedang mencari kekasihnya di kelas 2B dan kebetulan aku mengikutinya." Ayato melirik Seiza tajam, tapi tidak membantah. Memang, Ayato sudah punya kekasih bernama Yuzuha Akira di kelas sebelah, yang selalu membuatku iri. Bukan iri dengan kekasihnya, tapi dengan betapa normalnya dia dalam menjalin hubungan. Seiza sendiri, meskipun populer di kalangan gadis-gadis sampai ada yang pernah menembak nya tapi dia sering menolak nya, karena dia hanya tertati pada waifunya, sama seperti ku. Namun bedanya, Seiza menyukai waifunya karena desain karakter yang cantik, bukan karena trauma penolakan sepertiku. Kami bertiga pergi ke kantin, mencari meja di sudut yang tidak terlalu ramai. "Bagaimana harimu, Haruki?" tanya Seiza sambil membuka bungkus roti melonnya. "Pagi-pagi sudah terlibat masalah, ya?" Dia melirik ke arahku dengan senyum menggoda, seolah sudah tahu tentang insiden Hina. Aku menghela napas. "Jangan diingatkan. Baru tiba di sekolah, sudah dituduh mesum oleh si gyaru itu." Ayato hanya menyeruput minumannya. "Salah sendiri. Kenapa melihat roknya?" "Aku tidak sengaja! Dia duduk di mejaku! Bagaimana bisa aku tidak melihatnya?" aku membela diri, wajahku terasa memanas lagi. "Lalu tadi juga, aku menolong Fujiwara-san yang menjatuhkan buku. Ini semua di luar dugaanku." Seiza terkekeh. "Wah, wah, Haruki-kun kau ini sedang menarik perhatian para bunga sekolah, ya? Dua di antaranya sudah langsung berinteraksi denganmu di pagi hari. Apa kau sudah tidak betah di dunia novelmu?" "Omong kosong," gerutuku. "Aku bahkan tidak peduli dengan mereka. Aku sudah bersumpah tidak akan lagi terlibat dengan gadis nyata. Itu hanya akan membuatku... sakit." Kenangan tentang Yuki kembali menyeruak, aroma pahit yang sulit hilang. "Benar juga," Ayato menyela, suaranya datar. "Dunia 2D lebih aman." "Setuju," tambah Seiza. "Setidaknya waifu-ku tidak akan menolakku atau membuatnya merasa ingin muntah." Dia menatapku, jelas dia tahu persis apa yang aku maksud. Teman-temanku ini, meskipun cuek, seringkali bisa membaca pikiranku dengan baik. "Tapi Haruki, kau tidak bisa terus-menerus hidup di duniamu sendiri. Mau tidak mau, kau akan berinteraksi dengan mereka." "Aku akan mencoba meminimalisirnya," kataku, meski dalam hati aku tahu itu semakin sulit. Aku sudah melihat Hina, Akari, Reina, dan Kyouka dari kejauhan. Keempatnya memang luar biasa. Popularitas mereka di kelas tak terbantahkan. Mereka seperti empat permata dengan warna yang berbeda, memancarkan pesonanya masing-masing. Terutama Reina, yang selalu dikelilingi keramaian. Kyouka memang populer juga, tapi kegalakannya membuat dia tidak sering dikerumuni orang. Kami terus mengobrol tentang novel dan game terbaru sampai bel masuk berbunyi. Aku merasa sedikit lebih baik setelah meluapkan kekesalanku pada teman-temanku. Akhirnya bel pulang pun tiba. Perjalanan pulang terasa lebih santai, tapi tidak lama. Aku berjalan sendirian, seperti biasa, melewati gang-gang kecil yang sering kulewati untuk memotong jalan. Aroma senja yang khas mulai menyelimuti. Tiba-tiba, dari gang sempit di depan, kudengar suara-suara gaduh. Terdengar gelak tawa pria dan suara gadis yang bernada kesal. Keningku berkerut. Aku mempercepat langkah, dan saat mendekat, pemandangan itu membuat darahku mendidih. Tiga pria dewasa yang terlihat seperti berandalan sedang mengelilingi seorang gadis. Mereka tertawa, mencoba meraihnya. Gadis itu... Kifuyu Kyouka. Rambut merahnya yang diikat dua kuncir terlihat acak-acakan, wajahnya memerah karena marah dan sedikit ketakutan, meskipun dia berusaha keras menyembunyikannya. "Ayo, manis, jangan galak-galak begitu. Kami cuma ingin bersenang-senang sebentar," kata salah satu pria dengan seringai menjijikkan. "Lepaskan aku! Dasar sampah!" Kyouka berteriak, mencoba menendang, tapi dia terpojok. Jantungku berdebar kencang. Meskipun aku adalah Haruki yang pengecut dan selalu menghindari masalah, melihat Kyouka dalam bahaya seperti itu membuatku tidak bisa berdiam diri. Trauma penolakan di masa lalu mungkin membuatku takut pada gadis, tapi melihat seseorang dalam masalah—apalagi Kyouka, yang meski galak, tapi dia adalah teman sekelasku—itu berbeda. Naluri untuk menolong entah dari mana muncul. Aku meraih botol air mineral yang kubawa di tas, lalu dengan nekat, aku melemparkannya ke arah salah satu pria. PLAK! Botol itu mengenai kepala salah satu berandalan. Dia meringis, menoleh ke arahku dengan tatapan marah. "Siapa kau, bocah?! Berani-beraninya mengganggu!" Aku tidak menjawab, hanya berdiri di sana, mencoba terlihat lebih berani dari yang sebenarnya kurasakan. Kyouka menoleh ke arahku, matanya membelalak kaget. Dia pasti tidak menyangka aku akan muncul. "Minggir dari sini, atau aku akan memanggil polisi!" teriakku, suaraku sedikit bergetar, tapi aku berusaha keras agar terdengar tegas. Ketiga pria itu saling pandang, lalu salah satu dari mereka mendengus. "Cih, berandalan sok pahlawan. Ayo, kita pergi saja. Tidak ada gunanya buang waktu di sini." Mereka sepertinya tidak ingin menarik perhatian lebih lanjut, apalagi jika polisi benar-benar datang. Mereka akhirnya pergi, meninggalkan Kyouka dan aku. Suasana hening menyelimuti kami berdua. Kyouka masih sedikit terengah-engah, rambutnya berantakan, seragamnya sedikit kusut. Dia menatapku, tatapan tajamnya kini bercampur dengan ekspresi tak terbaca. Aku merasa canggung, tidak tahu harus berkata apa. Seharusnya aku pergi saja setelah mereka pergi. "Kau..." Kyouka akhirnya memecah keheningan, suaranya sedikit serak. "Kenapa kau menolongku?" Aku tidak punya jawaban yang bagus. "Aku... aku hanya kebetulan lewat. Dan... itu tidak benar." Dia menatapku lebih lama, seolah memindai setiap inci diriku. Ekspresi galaknya masih ada, tapi kini ada sedikit kerentanan di baliknya yang belum pernah kulihat sebelumnya. Mata tajam itu sedikit melunak. "Yonaka Haruki," katanya, menyebut namaku dengan nada yang berbeda dari biasanya, tidak lagi bernada ejekan atau cemoohan. Aku hanya mengangguk, merasa sedikit tidak nyaman dengan perhatian intensnya. Kyouka berbalik, membenahi rambut dan seragamnya yang kusut. "Terima kasih," katanya, suaranya nyaris berbisik, hampir tidak terdengar. Tanpa menoleh lagi, dia melangkah pergi, menghilang di belokan gang. Aku terdiam, mematung di tempat. Terima kasih? Dari Kifuyu Kyouka? Gadis tsundere yang paling galak di kelasku? Itu adalah sesuatu yang tidak pernah kubayangkan. Entah mengapa, insiden barusan terasa berbeda. Mungkin... mungkin ada sisi lain dari Kyouka yang belum aku ketahui. Sisi yang rapuh, yang baru saja kulihat sekilas. Dan mungkin, hanya mungkin, ini adalah awal dari kekacauan yang jauh lebih besar dalam hidupku.

Erstellt von cheerful puppy

Inhaltsdetails

Mediendetails

Nutzerinteraktion

Über dieses KI-Werk

Beschreibung

Erstellungseingabe

Engagement

cheerful puppy

cheerful puppy

Judul:高校時代の私の心の4つの色
Kōkō jidai no watashi no kokoro no 4tsu no iro

Bab 1: Aroma Pahit Masa Lalu dan Empat Warna Baru
"Kau ini benar-benar tidak tahu diri, ya? Pacaran denganku? Haa! yang benar saja bahkan melihat wajahmu saja sudah membuatku ingin muntah. Kau sangat menjijikkan menjauh lah dari ku."

Suara itu. Suara Akabane Yuki. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, nada jijik dan tatapan merendahkannya masih terukir jelas dalam ingatanku. Rasanya seperti baru kemarin, berdiri di bawah pohon sakura yang gugur, dengan jantung berdebar dan harapan yang membumbung tinggi, hanya untuk dihancurkan berkeping-keping oleh kalimat pedas itu. Saat itu, aku hanyalah Yonaka Haruki, seorang siswa SMP yang polos, berpikir bahwa cinta sejati bisa ditemukan semudah membalik halaman novel. Ternyata tidak. Dunia nyata jauh lebih kejam.

Bip! Bip! Bip!

Sial. Alarm ponselku berdering nyaring, mengoyak paksa aku dari mimpi buruk yang selalu sama. Pukul 05:00 WIB. Terlalu dini untuk bangun dengan perasaan sekacau ini. Aku menghela napas, menatap langit-langit kamarku yang remang-remang. Bayangan Yuki masih menari-nari di pelupuk mata. Sejak hari itu, aku bersumpah tidak akan lagi peduli dengan gadis nyata. Untuk apa mencari kesengsaraan lagi? Waifu di novel dan game-ku jauh lebih setia, lebih pengertian, dan tidak akan pernah membuatku merasa seperti sampah.

Dengan enggan, aku memaksa diri bangkit dari ranjang. Dinginnya lantai langsung menusuk telapak kaki, sedikit membantu menjernihkan pikiranku. Aku bergegas ke kamar mandi, membasuh wajahku dengan air dingin, mencoba menghalau sisa-sisa mimpi yang menempel. Aku menatap cermin. Rambut hitamku berantakan seperti sarang burung dan kantung mata samar terlihat. Penampilan Yonaka Haruki, siswa kelas dua SMA biasa yang tidak menonjol sama sekali. Yah, setidaknya aku tidak perlu repot-repot menarik perhatian siapa pun. Itu adalah sebuah berkah, bukan?

Setelah mengenakan seragam abu-abu SMA-ku—kemeja putih, dasi abu-abu, dan jas yang agak longgar—aku turun ke dapur. Aroma nasi hangat dan sup miso langsung menyerbu indra penciumanku. Ibu sudah menyiapkan sarapan.

"Haruki, kau sudah bangun? Cepat sarapan sebelum dingin," suara Ibu terdengar ramah dari ruang makan.

"Iya, Bu," jawabku singkat, menarik kursi dan duduk di meja. Sarapan pagi selalu sama: nasi, telur dadar, sup miso, dan terkadang ikan bakar. Sederhana, tapi selalu terasa menenangkan. Aku makan dalam diam, pikiranku melayang pada jadwal hari ini. Mungkin aku bisa menyelesaikan side quest di game RPG-ku nanti malam, atau membaca volume terbaru novel fantasi isekai yang baru kubeli. Dunia fiksi selalu menunggu dengan tangan terbuka, tidak seperti dunia nyata yang penuh penolakan.

Setelah menghabiskan sarapanku, aku berpamitan pada Ibu. "Aku berangkat, Bu."

"Hati-hati di jalan, Haruki," balasnya.

Langkah kakiku terasa berat saat aku keluar dari rumah. Udara pagi yang sejuk sedikit melegakan, tapi suasana hatiku masih keruh. Jalanan mulai ramai dengan para siswa yang juga menuju sekolah. Mereka berjalan berpasangan, atau dalam kelompok teman, tawa dan obrolan mereka memenuhi udara. Aku hanya berjalan sendiri, menunduk, mencoba menjadi seinvisible mungkin. Ini adalah duniaku sekarang. Dunia di mana aku hanyalah figuran dalam cerita orang lain. Tidak masalah. Aku sudah terbiasa.

Gerbang SMA Hinode sudah terlihat. Bangunan bata merahnya menjulang tinggi, dihiasi pohon-pohon rindang di sekelilingnya. Pagi itu, seperti biasa, keramaian sudah memenuhi koridor. Aku berjalan lurus menuju kelas 2A, tempat di mana aku biasanya bersembunyi di sudut belakang dekat jendela, jauh dari keramaian, tenggelam dalam duniaku sendiri.

Saat aku melintasi lorong menuju kelas, tiba-tiba sebuah suara melengking diiringi bunyi gedebuk menarik perhatianku.

"Aduh!"

Aku menoleh. Di dekat loker, seorang gadis dengan rambut hitam pendek dan seragam yang sangat rapi sedang berjongkok, dikelilingi oleh tumpukan buku yang berserakan di lantai. Itu adalah Fujiwara Akari. Dia terlihat begitu imut dan polos, tapi juga sangat kikuk. Pipinya sudah memerah karena malu, dan dia tampak berusaha keras mengumpulkan buku-bukunya yang berserakan. Beberapa siswa lain menoleh, tapi tidak ada yang benar-benar bergerak untuk membantunya.

Aku ragu sejenak. Aku bukan tipe pahlawan yang suka ikut campur, apalagi menolong gadis. Itu hanya akan menarik perhatian yang tidak kuinginkan. Tapi melihat wajah panik Akari, dan bagaimana dia terus tersandung kakinya sendiri bahkan saat berjongkok, hatiku sedikit tergerak. Mungkin ini bukan soal "menolong gadis", tapi lebih ke "menolong seseorang yang kesulitan".

"Kau... butuh bantuan?" tanyaku canggung, suaraku nyaris berbisik.

Akari mendongak, matanya yang bulat besar memancarkan kejutan, lalu dengan cepat berubah menjadi tatapan berterima kasih. "Eh? Oh, iya! Maaf, aku... aku sangat kikuk hari ini," dia tersipu, menunduk lagi, lebih malu dari sebelumnya.

Aku menghela napas pelan, lalu berjongkok, mulai mengumpulkan buku-buku yang jatuh. Buku-buku pelajaran, beberapa novel sastra, dan yang menarik, sebuah buku tentang sejarah seni. "Ini..." Aku menyerahkan tumpukan buku padanya.

"Terima kasih banyak, Yonaka-kun!" Akari mengambil buku-buku itu dengan hati-hati, lalu membungkuk sedikit. "Aku... aku benar-benar minta maaf merepotkanmu!"

"Tidak masalah," jawabku cepat, berdiri kembali, merasa sedikit tidak nyaman dengan ucapan terima kasih berlebihan itu. Sebelum dia bisa mengatakan hal lain, aku buru-buru melanjutkan langkahku, melarikan diri dari situasi canggung yang baru saja kuciptakan. Seharusnya aku tidak menolongnya! Sekarang aku jadi diperhatikan.

Aku masuk ke kelas 2A. Kelas sudah mulai ramai denga murit murit populer. Saat aku ingin ketempat duduk ku. Oh, sial. Benar-benar sial di atas mejaku, duduk seorang gadis dengan rambut pirang panjang yang dikuncir di sisi kepala. Dia mengenakan seragam sedikit lebih stylish dengan kemeja longgar dan rok yang... err, sedikit lebih pendek. Itu Hinori Hina, si gyaru populer dari kelas kami. Dia sedang tertawa terbahak-bahak dengan beberapa temannya.

Mataku tanpa sengaja melirik ke arah roknya yang pendek karena dia duduk di atas meja. Sial, hampir terlihat! Aku dengan cepat mengalihkan pandanganku, wajahku pasti memerah.

Hina, yang sedang berbicara dengan teman teman nya, tiba-tiba menyadari pandanganku. Tawanya terhenti. Matanya yang ceria menyipit. "Apa yang kau lihat, Yonaka-kun? Dasar mesum!" dia berteriak, suaranya sedikit lebih tinggi dari sebelumnya, menarik perhatian beberapa teman sekelas yang lain.

"Ti-tidak! Aku tidak... aku hanya...!" Aku tergagap, panik. Ini baru pagi, dan aku sudah dituduh mesum oleh gadis paling mencolok di kelas. Kehidupan SMA yang tenang? Lupakan saja!

Hina melompat turun dari mejaku dengan ekspresi kesal, tangannya berkacak pinggang. "Jelas-jelas tadi kau melihat rokku! Jangan pura-pura tidak tahu!"

Sebelum aku bisa menjelaskan bahwa itu hanya kecelakaan karena dia duduk di mejaku dan aku tidak sengaja melihatnya, perhatian kelas kembali teralihkan. Sebuah aura keanggunan tiba-tiba memenuhi ruangan. Semua kepala menoleh ke arah pintu.

Di ambang pintu, berdirilah Yayoi Reina, ketua kelas kami. Rambutnya yang panjang berwarna merah muda lembut terurai indah, dan dia mengenakan seragam abu-abu dengan keanggunan yang luar biasa, seolah seragam itu dibuat khusus untuknya. Wajahnya tenang dan berwibawa, tatapannya dalam. Dia adalah pusat perhatian alami, baik bagi para gadis maupun laki-laki. Reina dengan tenang melangkah masuk, menyapa beberapa teman sekelas dengan anggukan kepala. Seolah kehadirannya saja bisa meredakan keributan di kelas. Hina pun yang tadinya marah-marah langsung memelankan suaranya, sedikit segan dengan kehadiran Reina.

Aku menghela napas lega. Setidaknya perhatian Hina teralihkan. Aku buru-buru pergi ke mejaku, mengambil posisi di sudut belakang, mencoba kembali menjadi "invisible man". Aku membuka novel ringan di tasku, berharap bisa tenggelam di dalamnya sebelum drama pagi ini berlanjut.

Namun, indraku yang tak mau diajak kompromi menangkap kehadiran lain. Di barisan depan, duduk seorang gadis dengan rambut merah menyala panjang yang diikat dua kuncir ekor kuda tinggi. Matanya tajam, dan dia seringkali menunjukkan ekspresi cemberut. Itu Kifuyu Kyouka. Dia adalah gadis yang sama populernya dengan Reina, Hina, atau Akari, tapi karena kegalakannya, jarang ada yang berani mendekatinya selain melihat kecantikannya dari jauh. Dia terlihat sedang membaca sesuatu, dengan kening berkerut. Aura 'jangan-ganggu-aku' terpancar kuat darinya.

Empat gadis populer. Empat kepribadian yang kontras. Dan entah kenapa, pagi ini aku sudah terlibat dengan dua di antaranya. Hidup otaku tenangku di SMA ini... sepertinya tidak akan pernah sama lagi.

*

Bel istirahat berbunyi, memecah kesunyian yang baru saja kudapatkan setelah insiden Hina. Aku segera menutup novelku, menyimpannya di dalam tas. Suara-suara riuh memenuhi koridor saat para siswa berhamburan keluar. Aku sendiri biasanya akan tetap di kelas, membaca, atau sesekali pergi ke perpustakaan. Tapi hari ini, aku punya janji.

"Yo, Haruki."

Suara berat dan sedikit dingin menyapaku. Aku mendongak. Di ambang pintu kelas berdiri Akisaki Ayato, temanku sejak tahun pertama. Rambut lurus hitamnya sedikit rapih, tersembunyi di balik tudung hoodie hitam yang dia kenakan di balik jas seragamnya. Penampilannya yang cuek dan dingin sudah menjadi ciri khasnya. Di sampingnya, ada Shizukana Seiza, teman kami yang lain. Seiza berdiri lebih tinggi, dengan rambut coklat belah tengah yang selalu tertata rapi. Dia mengenakan kemeja putih seragam sekolah, dasi abu-abu, dan kardigan krem di balik jasnya. Wajahnya yang tampan membuat seragam itu terlihat sangat bagus dikenakan olehnya.

"Sudah lama menunggu?" tanyaku.

Ayato hanya mengedikkan bahu. "Tidak juga. Kebetulan kami lewat."

Seiza menyeringai, "Atau lebih tepatnya, Ayato sedang mencari kekasihnya di kelas 2B dan kebetulan aku mengikutinya."

Ayato melirik Seiza tajam, tapi tidak membantah. Memang, Ayato sudah punya kekasih bernama Yuzuha Akira di kelas sebelah, yang selalu membuatku iri. Bukan iri dengan kekasihnya, tapi dengan betapa normalnya dia dalam menjalin hubungan. Seiza sendiri, meskipun populer di kalangan gadis-gadis sampai ada yang pernah menembak nya tapi dia sering menolak nya, karena dia hanya tertati pada waifunya, sama seperti ku. Namun bedanya, Seiza menyukai waifunya karena desain karakter yang cantik, bukan karena trauma penolakan sepertiku.

Kami bertiga pergi ke kantin, mencari meja di sudut yang tidak terlalu ramai.

"Bagaimana harimu, Haruki?" tanya Seiza sambil membuka bungkus roti melonnya. "Pagi-pagi sudah terlibat masalah, ya?" Dia melirik ke arahku dengan senyum menggoda, seolah sudah tahu tentang insiden Hina.

Aku menghela napas. "Jangan diingatkan. Baru tiba di sekolah, sudah dituduh mesum oleh si gyaru itu."

Ayato hanya menyeruput minumannya. "Salah sendiri. Kenapa melihat roknya?"

"Aku tidak sengaja! Dia duduk di mejaku! Bagaimana bisa aku tidak melihatnya?" aku membela diri, wajahku terasa memanas lagi. "Lalu tadi juga, aku menolong Fujiwara-san yang menjatuhkan buku. Ini semua di luar dugaanku."

Seiza terkekeh. "Wah, wah, Haruki-kun kau ini sedang menarik perhatian para bunga sekolah, ya? Dua di antaranya sudah langsung berinteraksi denganmu di pagi hari. Apa kau sudah tidak betah di dunia novelmu?"

"Omong kosong," gerutuku. "Aku bahkan tidak peduli dengan mereka. Aku sudah bersumpah tidak akan lagi terlibat dengan gadis nyata. Itu hanya akan membuatku... sakit." Kenangan tentang Yuki kembali menyeruak, aroma pahit yang sulit hilang.

"Benar juga," Ayato menyela, suaranya datar. "Dunia 2D lebih aman."

"Setuju," tambah Seiza. "Setidaknya waifu-ku tidak akan menolakku atau membuatnya merasa ingin muntah." Dia menatapku, jelas dia tahu persis apa yang aku maksud. Teman-temanku ini, meskipun cuek, seringkali bisa membaca pikiranku dengan baik. "Tapi Haruki, kau tidak bisa terus-menerus hidup di duniamu sendiri. Mau tidak mau, kau akan berinteraksi dengan mereka."

"Aku akan mencoba meminimalisirnya," kataku, meski dalam hati aku tahu itu semakin sulit. Aku sudah melihat Hina, Akari, Reina, dan Kyouka dari kejauhan. Keempatnya memang luar biasa. Popularitas mereka di kelas tak terbantahkan. Mereka seperti empat permata dengan warna yang berbeda, memancarkan pesonanya masing-masing. Terutama Reina, yang selalu dikelilingi keramaian. Kyouka memang populer juga, tapi kegalakannya membuat dia tidak sering dikerumuni orang.

Kami terus mengobrol tentang novel dan game terbaru sampai bel masuk berbunyi. Aku merasa sedikit lebih baik setelah meluapkan kekesalanku pada teman-temanku. Akhirnya bel pulang pun tiba.

Perjalanan pulang terasa lebih santai, tapi tidak lama. Aku berjalan sendirian, seperti biasa, melewati gang-gang kecil yang sering kulewati untuk memotong jalan. Aroma senja yang khas mulai menyelimuti.

Tiba-tiba, dari gang sempit di depan, kudengar suara-suara gaduh. Terdengar gelak tawa pria dan suara gadis yang bernada kesal. Keningku berkerut. Aku mempercepat langkah, dan saat mendekat, pemandangan itu membuat darahku mendidih.

Tiga pria dewasa yang terlihat seperti berandalan sedang mengelilingi seorang gadis. Mereka tertawa, mencoba meraihnya. Gadis itu... Kifuyu Kyouka. Rambut merahnya yang diikat dua kuncir terlihat acak-acakan, wajahnya memerah karena marah dan sedikit ketakutan, meskipun dia berusaha keras menyembunyikannya.

"Ayo, manis, jangan galak-galak begitu. Kami cuma ingin bersenang-senang sebentar," kata salah satu pria dengan seringai menjijikkan.

"Lepaskan aku! Dasar sampah!" Kyouka berteriak, mencoba menendang, tapi dia terpojok.

Jantungku berdebar kencang. Meskipun aku adalah Haruki yang pengecut dan selalu menghindari masalah, melihat Kyouka dalam bahaya seperti itu membuatku tidak bisa berdiam diri. Trauma penolakan di masa lalu mungkin membuatku takut pada gadis, tapi melihat seseorang dalam masalah—apalagi Kyouka, yang meski galak, tapi dia adalah teman sekelasku—itu berbeda. Naluri untuk menolong entah dari mana muncul.

Aku meraih botol air mineral yang kubawa di tas, lalu dengan nekat, aku melemparkannya ke arah salah satu pria.

PLAK!

Botol itu mengenai kepala salah satu berandalan. Dia meringis, menoleh ke arahku dengan tatapan marah. "Siapa kau, bocah?! Berani-beraninya mengganggu!"

Aku tidak menjawab, hanya berdiri di sana, mencoba terlihat lebih berani dari yang sebenarnya kurasakan. Kyouka menoleh ke arahku, matanya membelalak kaget. Dia pasti tidak menyangka aku akan muncul.

"Minggir dari sini, atau aku akan memanggil polisi!" teriakku, suaraku sedikit bergetar, tapi aku berusaha keras agar terdengar tegas.

Ketiga pria itu saling pandang, lalu salah satu dari mereka mendengus. "Cih, berandalan sok pahlawan. Ayo, kita pergi saja. Tidak ada gunanya buang waktu di sini." Mereka sepertinya tidak ingin menarik perhatian lebih lanjut, apalagi jika polisi benar-benar datang. Mereka akhirnya pergi, meninggalkan Kyouka dan aku.

Suasana hening menyelimuti kami berdua. Kyouka masih sedikit terengah-engah, rambutnya berantakan, seragamnya sedikit kusut. Dia menatapku, tatapan tajamnya kini bercampur dengan ekspresi tak terbaca. Aku merasa canggung, tidak tahu harus berkata apa. Seharusnya aku pergi saja setelah mereka pergi.

"Kau..." Kyouka akhirnya memecah keheningan, suaranya sedikit serak. "Kenapa kau menolongku?"

Aku tidak punya jawaban yang bagus. "Aku... aku hanya kebetulan lewat. Dan... itu tidak benar."

Dia menatapku lebih lama, seolah memindai setiap inci diriku. Ekspresi galaknya masih ada, tapi kini ada sedikit kerentanan di baliknya yang belum pernah kulihat sebelumnya. Mata tajam itu sedikit melunak.

"Yonaka Haruki," katanya, menyebut namaku dengan nada yang berbeda dari biasanya, tidak lagi bernada ejekan atau cemoohan.

Aku hanya mengangguk, merasa sedikit tidak nyaman dengan perhatian intensnya.

Kyouka berbalik, membenahi rambut dan seragamnya yang kusut. "Terima kasih," katanya, suaranya nyaris berbisik, hampir tidak terdengar. Tanpa menoleh lagi, dia melangkah pergi, menghilang di belokan gang.

Aku terdiam, mematung di tempat. Terima kasih? Dari Kifuyu Kyouka? Gadis tsundere yang paling galak di kelasku? Itu adalah sesuatu yang tidak pernah kubayangkan. Entah mengapa, insiden barusan terasa berbeda. Mungkin... mungkin ada sisi lain dari Kyouka yang belum aku ketahui. Sisi yang rapuh, yang baru saja kulihat sekilas. Dan mungkin, hanya mungkin, ini adalah awal dari kekacauan yang jauh lebih besar dalam hidupku.
—— Ende ——
Entdecken Mehr Geschichten oder starte damit, deine eigenen zu erstellen!

Judul:高校時代の私の心の4つの色 Kōkō jidai no watashi no kokoro no 4tsu no iro Bab 1: Aroma Pahit Masa Lalu dan Empat Warna Baru "Kau ini benar-benar tidak tahu diri, ya? Pacaran denganku? Haa! yang benar saja bahkan melihat wajahmu saja sudah membuatku ingin muntah. Kau sangat menjijikkan menjauh lah dari ku." Suara itu. Suara Akabane Yuki. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, nada jijik dan tatapan merendahkannya masih terukir jelas dalam ingatanku. Rasanya seperti baru kemarin, berdiri di bawah pohon sakura yang gugur, dengan jantung berdebar dan harapan yang membumbung tinggi, hanya untuk dihancurkan berkeping-keping oleh kalimat pedas itu. Saat itu, aku hanyalah Yonaka Haruki, seorang siswa SMP yang polos, berpikir bahwa cinta sejati bisa ditemukan semudah membalik halaman novel. Ternyata tidak. Dunia nyata jauh lebih kejam. Bip! Bip! Bip! Sial. Alarm ponselku berdering nyaring, mengoyak paksa aku dari mimpi buruk yang selalu sama. Pukul 05:00 WIB. Terlalu dini untuk bangun dengan perasaan sekacau ini. Aku menghela napas, menatap langit-langit kamarku yang remang-remang. Bayangan Yuki masih menari-nari di pelupuk mata. Sejak hari itu, aku bersumpah tidak akan lagi peduli dengan gadis nyata. Untuk apa mencari kesengsaraan lagi? Waifu di novel dan game-ku jauh lebih setia, lebih pengertian, dan tidak akan pernah membuatku merasa seperti sampah. Dengan enggan, aku memaksa diri bangkit dari ranjang. Dinginnya lantai langsung menusuk telapak kaki, sedikit membantu menjernihkan pikiranku. Aku bergegas ke kamar mandi, membasuh wajahku dengan air dingin, mencoba menghalau sisa-sisa mimpi yang menempel. Aku menatap cermin. Rambut hitamku berantakan seperti sarang burung dan kantung mata samar terlihat. Penampilan Yonaka Haruki, siswa kelas dua SMA biasa yang tidak menonjol sama sekali. Yah, setidaknya aku tidak perlu repot-repot menarik perhatian siapa pun. Itu adalah sebuah berkah, bukan? Setelah mengenakan seragam abu-abu SMA-ku—kemeja putih, dasi abu-abu, dan jas yang agak longgar—aku turun ke dapur. Aroma nasi hangat dan sup miso langsung menyerbu indra penciumanku. Ibu sudah menyiapkan sarapan. "Haruki, kau sudah bangun? Cepat sarapan sebelum dingin," suara Ibu terdengar ramah dari ruang makan. "Iya, Bu," jawabku singkat, menarik kursi dan duduk di meja. Sarapan pagi selalu sama: nasi, telur dadar, sup miso, dan terkadang ikan bakar. Sederhana, tapi selalu terasa menenangkan. Aku makan dalam diam, pikiranku melayang pada jadwal hari ini. Mungkin aku bisa menyelesaikan side quest di game RPG-ku nanti malam, atau membaca volume terbaru novel fantasi isekai yang baru kubeli. Dunia fiksi selalu menunggu dengan tangan terbuka, tidak seperti dunia nyata yang penuh penolakan. Setelah menghabiskan sarapanku, aku berpamitan pada Ibu. "Aku berangkat, Bu." "Hati-hati di jalan, Haruki," balasnya. Langkah kakiku terasa berat saat aku keluar dari rumah. Udara pagi yang sejuk sedikit melegakan, tapi suasana hatiku masih keruh. Jalanan mulai ramai dengan para siswa yang juga menuju sekolah. Mereka berjalan berpasangan, atau dalam kelompok teman, tawa dan obrolan mereka memenuhi udara. Aku hanya berjalan sendiri, menunduk, mencoba menjadi seinvisible mungkin. Ini adalah duniaku sekarang. Dunia di mana aku hanyalah figuran dalam cerita orang lain. Tidak masalah. Aku sudah terbiasa. Gerbang SMA Hinode sudah terlihat. Bangunan bata merahnya menjulang tinggi, dihiasi pohon-pohon rindang di sekelilingnya. Pagi itu, seperti biasa, keramaian sudah memenuhi koridor. Aku berjalan lurus menuju kelas 2A, tempat di mana aku biasanya bersembunyi di sudut belakang dekat jendela, jauh dari keramaian, tenggelam dalam duniaku sendiri. Saat aku melintasi lorong menuju kelas, tiba-tiba sebuah suara melengking diiringi bunyi gedebuk menarik perhatianku. "Aduh!" Aku menoleh. Di dekat loker, seorang gadis dengan rambut hitam pendek dan seragam yang sangat rapi sedang berjongkok, dikelilingi oleh tumpukan buku yang berserakan di lantai. Itu adalah Fujiwara Akari. Dia terlihat begitu imut dan polos, tapi juga sangat kikuk. Pipinya sudah memerah karena malu, dan dia tampak berusaha keras mengumpulkan buku-bukunya yang berserakan. Beberapa siswa lain menoleh, tapi tidak ada yang benar-benar bergerak untuk membantunya. Aku ragu sejenak. Aku bukan tipe pahlawan yang suka ikut campur, apalagi menolong gadis. Itu hanya akan menarik perhatian yang tidak kuinginkan. Tapi melihat wajah panik Akari, dan bagaimana dia terus tersandung kakinya sendiri bahkan saat berjongkok, hatiku sedikit tergerak. Mungkin ini bukan soal "menolong gadis", tapi lebih ke "menolong seseorang yang kesulitan". "Kau... butuh bantuan?" tanyaku canggung, suaraku nyaris berbisik. Akari mendongak, matanya yang bulat besar memancarkan kejutan, lalu dengan cepat berubah menjadi tatapan berterima kasih. "Eh? Oh, iya! Maaf, aku... aku sangat kikuk hari ini," dia tersipu, menunduk lagi, lebih malu dari sebelumnya. Aku menghela napas pelan, lalu berjongkok, mulai mengumpulkan buku-buku yang jatuh. Buku-buku pelajaran, beberapa novel sastra, dan yang menarik, sebuah buku tentang sejarah seni. "Ini..." Aku menyerahkan tumpukan buku padanya. "Terima kasih banyak, Yonaka-kun!" Akari mengambil buku-buku itu dengan hati-hati, lalu membungkuk sedikit. "Aku... aku benar-benar minta maaf merepotkanmu!" "Tidak masalah," jawabku cepat, berdiri kembali, merasa sedikit tidak nyaman dengan ucapan terima kasih berlebihan itu. Sebelum dia bisa mengatakan hal lain, aku buru-buru melanjutkan langkahku, melarikan diri dari situasi canggung yang baru saja kuciptakan. Seharusnya aku tidak menolongnya! Sekarang aku jadi diperhatikan. Aku masuk ke kelas 2A. Kelas sudah mulai ramai denga murit murit populer. Saat aku ingin ketempat duduk ku. Oh, sial. Benar-benar sial di atas mejaku, duduk seorang gadis dengan rambut pirang panjang yang dikuncir di sisi kepala. Dia mengenakan seragam sedikit lebih stylish dengan kemeja longgar dan rok yang... err, sedikit lebih pendek. Itu Hinori Hina, si gyaru populer dari kelas kami. Dia sedang tertawa terbahak-bahak dengan beberapa temannya. Mataku tanpa sengaja melirik ke arah roknya yang pendek karena dia duduk di atas meja. Sial, hampir terlihat! Aku dengan cepat mengalihkan pandanganku, wajahku pasti memerah. Hina, yang sedang berbicara dengan teman teman nya, tiba-tiba menyadari pandanganku. Tawanya terhenti. Matanya yang ceria menyipit. "Apa yang kau lihat, Yonaka-kun? Dasar mesum!" dia berteriak, suaranya sedikit lebih tinggi dari sebelumnya, menarik perhatian beberapa teman sekelas yang lain. "Ti-tidak! Aku tidak... aku hanya...!" Aku tergagap, panik. Ini baru pagi, dan aku sudah dituduh mesum oleh gadis paling mencolok di kelas. Kehidupan SMA yang tenang? Lupakan saja! Hina melompat turun dari mejaku dengan ekspresi kesal, tangannya berkacak pinggang. "Jelas-jelas tadi kau melihat rokku! Jangan pura-pura tidak tahu!" Sebelum aku bisa menjelaskan bahwa itu hanya kecelakaan karena dia duduk di mejaku dan aku tidak sengaja melihatnya, perhatian kelas kembali teralihkan. Sebuah aura keanggunan tiba-tiba memenuhi ruangan. Semua kepala menoleh ke arah pintu. Di ambang pintu, berdirilah Yayoi Reina, ketua kelas kami. Rambutnya yang panjang berwarna merah muda lembut terurai indah, dan dia mengenakan seragam abu-abu dengan keanggunan yang luar biasa, seolah seragam itu dibuat khusus untuknya. Wajahnya tenang dan berwibawa, tatapannya dalam. Dia adalah pusat perhatian alami, baik bagi para gadis maupun laki-laki. Reina dengan tenang melangkah masuk, menyapa beberapa teman sekelas dengan anggukan kepala. Seolah kehadirannya saja bisa meredakan keributan di kelas. Hina pun yang tadinya marah-marah langsung memelankan suaranya, sedikit segan dengan kehadiran Reina. Aku menghela napas lega. Setidaknya perhatian Hina teralihkan. Aku buru-buru pergi ke mejaku, mengambil posisi di sudut belakang, mencoba kembali menjadi "invisible man". Aku membuka novel ringan di tasku, berharap bisa tenggelam di dalamnya sebelum drama pagi ini berlanjut. Namun, indraku yang tak mau diajak kompromi menangkap kehadiran lain. Di barisan depan, duduk seorang gadis dengan rambut merah menyala panjang yang diikat dua kuncir ekor kuda tinggi. Matanya tajam, dan dia seringkali menunjukkan ekspresi cemberut. Itu Kifuyu Kyouka. Dia adalah gadis yang sama populernya dengan Reina, Hina, atau Akari, tapi karena kegalakannya, jarang ada yang berani mendekatinya selain melihat kecantikannya dari jauh. Dia terlihat sedang membaca sesuatu, dengan kening berkerut. Aura 'jangan-ganggu-aku' terpancar kuat darinya. Empat gadis populer. Empat kepribadian yang kontras. Dan entah kenapa, pagi ini aku sudah terlibat dengan dua di antaranya. Hidup otaku tenangku di SMA ini... sepertinya tidak akan pernah sama lagi. * Bel istirahat berbunyi, memecah kesunyian yang baru saja kudapatkan setelah insiden Hina. Aku segera menutup novelku, menyimpannya di dalam tas. Suara-suara riuh memenuhi koridor saat para siswa berhamburan keluar. Aku sendiri biasanya akan tetap di kelas, membaca, atau sesekali pergi ke perpustakaan. Tapi hari ini, aku punya janji. "Yo, Haruki." Suara berat dan sedikit dingin menyapaku. Aku mendongak. Di ambang pintu kelas berdiri Akisaki Ayato, temanku sejak tahun pertama. Rambut lurus hitamnya sedikit rapih, tersembunyi di balik tudung hoodie hitam yang dia kenakan di balik jas seragamnya. Penampilannya yang cuek dan dingin sudah menjadi ciri khasnya. Di sampingnya, ada Shizukana Seiza, teman kami yang lain. Seiza berdiri lebih tinggi, dengan rambut coklat belah tengah yang selalu tertata rapi. Dia mengenakan kemeja putih seragam sekolah, dasi abu-abu, dan kardigan krem di balik jasnya. Wajahnya yang tampan membuat seragam itu terlihat sangat bagus dikenakan olehnya. "Sudah lama menunggu?" tanyaku. Ayato hanya mengedikkan bahu. "Tidak juga. Kebetulan kami lewat." Seiza menyeringai, "Atau lebih tepatnya, Ayato sedang mencari kekasihnya di kelas 2B dan kebetulan aku mengikutinya." Ayato melirik Seiza tajam, tapi tidak membantah. Memang, Ayato sudah punya kekasih bernama Yuzuha Akira di kelas sebelah, yang selalu membuatku iri. Bukan iri dengan kekasihnya, tapi dengan betapa normalnya dia dalam menjalin hubungan. Seiza sendiri, meskipun populer di kalangan gadis-gadis sampai ada yang pernah menembak nya tapi dia sering menolak nya, karena dia hanya tertati pada waifunya, sama seperti ku. Namun bedanya, Seiza menyukai waifunya karena desain karakter yang cantik, bukan karena trauma penolakan sepertiku. Kami bertiga pergi ke kantin, mencari meja di sudut yang tidak terlalu ramai. "Bagaimana harimu, Haruki?" tanya Seiza sambil membuka bungkus roti melonnya. "Pagi-pagi sudah terlibat masalah, ya?" Dia melirik ke arahku dengan senyum menggoda, seolah sudah tahu tentang insiden Hina. Aku menghela napas. "Jangan diingatkan. Baru tiba di sekolah, sudah dituduh mesum oleh si gyaru itu." Ayato hanya menyeruput minumannya. "Salah sendiri. Kenapa melihat roknya?" "Aku tidak sengaja! Dia duduk di mejaku! Bagaimana bisa aku tidak melihatnya?" aku membela diri, wajahku terasa memanas lagi. "Lalu tadi juga, aku menolong Fujiwara-san yang menjatuhkan buku. Ini semua di luar dugaanku." Seiza terkekeh. "Wah, wah, Haruki-kun kau ini sedang menarik perhatian para bunga sekolah, ya? Dua di antaranya sudah langsung berinteraksi denganmu di pagi hari. Apa kau sudah tidak betah di dunia novelmu?" "Omong kosong," gerutuku. "Aku bahkan tidak peduli dengan mereka. Aku sudah bersumpah tidak akan lagi terlibat dengan gadis nyata. Itu hanya akan membuatku... sakit." Kenangan tentang Yuki kembali menyeruak, aroma pahit yang sulit hilang. "Benar juga," Ayato menyela, suaranya datar. "Dunia 2D lebih aman." "Setuju," tambah Seiza. "Setidaknya waifu-ku tidak akan menolakku atau membuatnya merasa ingin muntah." Dia menatapku, jelas dia tahu persis apa yang aku maksud. Teman-temanku ini, meskipun cuek, seringkali bisa membaca pikiranku dengan baik. "Tapi Haruki, kau tidak bisa terus-menerus hidup di duniamu sendiri. Mau tidak mau, kau akan berinteraksi dengan mereka." "Aku akan mencoba meminimalisirnya," kataku, meski dalam hati aku tahu itu semakin sulit. Aku sudah melihat Hina, Akari, Reina, dan Kyouka dari kejauhan. Keempatnya memang luar biasa. Popularitas mereka di kelas tak terbantahkan. Mereka seperti empat permata dengan warna yang berbeda, memancarkan pesonanya masing-masing. Terutama Reina, yang selalu dikelilingi keramaian. Kyouka memang populer juga, tapi kegalakannya membuat dia tidak sering dikerumuni orang. Kami terus mengobrol tentang novel dan game terbaru sampai bel masuk berbunyi. Aku merasa sedikit lebih baik setelah meluapkan kekesalanku pada teman-temanku. Akhirnya bel pulang pun tiba. Perjalanan pulang terasa lebih santai, tapi tidak lama. Aku berjalan sendirian, seperti biasa, melewati gang-gang kecil yang sering kulewati untuk memotong jalan. Aroma senja yang khas mulai menyelimuti. Tiba-tiba, dari gang sempit di depan, kudengar suara-suara gaduh. Terdengar gelak tawa pria dan suara gadis yang bernada kesal. Keningku berkerut. Aku mempercepat langkah, dan saat mendekat, pemandangan itu membuat darahku mendidih. Tiga pria dewasa yang terlihat seperti berandalan sedang mengelilingi seorang gadis. Mereka tertawa, mencoba meraihnya. Gadis itu... Kifuyu Kyouka. Rambut merahnya yang diikat dua kuncir terlihat acak-acakan, wajahnya memerah karena marah dan sedikit ketakutan, meskipun dia berusaha keras menyembunyikannya. "Ayo, manis, jangan galak-galak begitu. Kami cuma ingin bersenang-senang sebentar," kata salah satu pria dengan seringai menjijikkan. "Lepaskan aku! Dasar sampah!" Kyouka berteriak, mencoba menendang, tapi dia terpojok. Jantungku berdebar kencang. Meskipun aku adalah Haruki yang pengecut dan selalu menghindari masalah, melihat Kyouka dalam bahaya seperti itu membuatku tidak bisa berdiam diri. Trauma penolakan di masa lalu mungkin membuatku takut pada gadis, tapi melihat seseorang dalam masalah—apalagi Kyouka, yang meski galak, tapi dia adalah teman sekelasku—itu berbeda. Naluri untuk menolong entah dari mana muncul. Aku meraih botol air mineral yang kubawa di tas, lalu dengan nekat, aku melemparkannya ke arah salah satu pria. PLAK! Botol itu mengenai kepala salah satu berandalan. Dia meringis, menoleh ke arahku dengan tatapan marah. "Siapa kau, bocah?! Berani-beraninya mengganggu!" Aku tidak menjawab, hanya berdiri di sana, mencoba terlihat lebih berani dari yang sebenarnya kurasakan. Kyouka menoleh ke arahku, matanya membelalak kaget. Dia pasti tidak menyangka aku akan muncul. "Minggir dari sini, atau aku akan memanggil polisi!" teriakku, suaraku sedikit bergetar, tapi aku berusaha keras agar terdengar tegas. Ketiga pria itu saling pandang, lalu salah satu dari mereka mendengus. "Cih, berandalan sok pahlawan. Ayo, kita pergi saja. Tidak ada gunanya buang waktu di sini." Mereka sepertinya tidak ingin menarik perhatian lebih lanjut, apalagi jika polisi benar-benar datang. Mereka akhirnya pergi, meninggalkan Kyouka dan aku. Suasana hening menyelimuti kami berdua. Kyouka masih sedikit terengah-engah, rambutnya berantakan, seragamnya sedikit kusut. Dia menatapku, tatapan tajamnya kini bercampur dengan ekspresi tak terbaca. Aku merasa canggung, tidak tahu harus berkata apa. Seharusnya aku pergi saja setelah mereka pergi. "Kau..." Kyouka akhirnya memecah keheningan, suaranya sedikit serak. "Kenapa kau menolongku?" Aku tidak punya jawaban yang bagus. "Aku... aku hanya kebetulan lewat. Dan... itu tidak benar." Dia menatapku lebih lama, seolah memindai setiap inci diriku. Ekspresi galaknya masih ada, tapi kini ada sedikit kerentanan di baliknya yang belum pernah kulihat sebelumnya. Mata tajam itu sedikit melunak. "Yonaka Haruki," katanya, menyebut namaku dengan nada yang berbeda dari biasanya, tidak lagi bernada ejekan atau cemoohan. Aku hanya mengangguk, merasa sedikit tidak nyaman dengan perhatian intensnya. Kyouka berbalik, membenahi rambut dan seragamnya yang kusut. "Terima kasih," katanya, suaranya nyaris berbisik, hampir tidak terdengar. Tanpa menoleh lagi, dia melangkah pergi, menghilang di belokan gang. Aku terdiam, mematung di tempat. Terima kasih? Dari Kifuyu Kyouka? Gadis tsundere yang paling galak di kelasku? Itu adalah sesuatu yang tidak pernah kubayangkan. Entah mengapa, insiden barusan terasa berbeda. Mungkin... mungkin ada sisi lain dari Kyouka yang belum aku ketahui. Sisi yang rapuh, yang baru saja kulihat sekilas. Dan mungkin, hanya mungkin, ini adalah awal dari kekacauan yang jauh lebih besar dalam hidupku.

about 1 month ago

0
    Online